Ternyata, memang dibuat seperti itu.
Setelah sekian waktu akhirnya selalu datang saatnya berbagi dengan diri sendiri, aku namakan ini monolog kesadaran.
Aku suka melihatmu di Minggu pagi, hanya dengan pakaianku dan pakaian dalam putihmu. Kemeja lengan panjang yang longgar itu tidak kunjung sanggup menutupi kecantikan tubuhmu, bahkan ketika itu adalah kesekian kalinya kamu mencoba. Ternyata memang dibuat seperti itu.
Aku juga suka Sabtu sore, ketika sibuk dengan pengolah kata sesekali mengintipmu menyiram tanaman di pekarangan melalui jendela. Merebut perhatian, dan senyuman itu sungguh membunuh akal sehat. Ternyata memang dibuat seperti itu.
Di Jum’at siang tidak pernah ingin aku lewatkan melihatmu berjalan melintasi parkiran, tersenyum dari kejauhan. Kita seakan saling mencuci lelah. Bosan tentu salah arah, jauh dari menemukan kita. Ternyata memang dibuat seperti itu.
Dan aku masih ingat Kamis pagi, ketika menemukan rajah mungil di balik blus putihmu. Kamu memaksaku menghentikan waktu. Ternyata memang dibuat seperti itu.
Rabu, tengah hari, kita berhasil menjauhkan sekitar. Kata-kata yang kita buat binar. Menyusun diri di udara, membangun jembatan yang bahkan lebih pekat dari asap-asap yang kita hembuskan. Ternyata memang dibuat seperti itu.
Selasa pagi itu, tanpa sengaja kita saling berhadapan, membangun alibi bukan untuk diri sendiri. Menjaga agar selalu berada dalam kotak masing-masing, tapi seolah bebal selalu berusaha menciptakan kelinieran. Ternyata memang dibuat seperti itu.
Senin pagi, apa yang lebih kita inginkan daripada menikmati ketidak-tertata-an bersama puluhan kecupan? Dan kita menari, dan kita menyanyi, menikmati waktu dan ruang yang tersedia di sekitar kita. Ternyata, memang dibuat seperti itu.
Aku tidak akan pernah dapat membuatmu seperti apa yang kamu inginkan tanpa kamu buat aku seperti itu, begitupun kamu tidak akan pernah dapat membuatku seperti apa yang aku inginkan tanpa aku buat kamu seperti itu.