Ramona dan Akhir Pekan Tidak Biasa
Jadi akhir pekan kemarin Ramona mengutarakan sesuatu yang sulit untuk tidak saya bahas kemudian. Sialnya, bahasan itu mengarah kepada pembuktian nyata dari percakapan yang tadinya argumentatif menjadi sesuatu yang sifatnya berdasarkan pengalaman, seperti dia bilang. Bahasannya sederhana, sesuatu yang mungkin ada di sekitar kita, bahkan mungkin sangat dekat. Tapi karena memang sifatnya yang sering bermusuhan dengan norma lagi budaya, kehadirannya sering tak terasa, invisible. Sabtu sore itu kami bicara tentang seks berbayar.
Seks adalah bahasan yang menarik, kedua dari kami menganggap topik yang tabu untuk kebanyakan orang ini adalah suatu topik yang terlantar, yang dibahas hanya oleh mereka yang punya keberanian, oleh mereka yang siap menghadapi konsekuensinya. Karena ketika kita mengakrabi sesuatu yang dikucilkan, maka kemungkinan untuk ikut dikucilkan juga besar. Kitalah tahu, manusia memang senang sekali menghaikmi. Seolah setiap orang yang ada di depan mata itu transparan, sehingga bisa dilihat apa yang dia punya di dalam sana. Mungkin, ini mungkin saja, asal mula pakaian diciptakan juga untuk menutupi kekhawatiran ini. Orang mengenakan pakaian bisa dibilang sebagai orang yang punya malu, sesuatu yang menahan mereka dari hal-hal yang tidak disukai orang di sekitarnya. Padahal, tidak selalu begitu. Itu hanya mungkin, siapa yang tahu sejarah lagi pula? Sejarah ditulis oleh mereka yang punya kendali, bukan?
Singkat cerita saya dan Ramona bertukar tantangan, kami berdua saling menantang satu sama lain untuk membuktikan bahwa seks berbayar itu tidak seburuk seperti apa yang kami pikirkan selama perbincangan tadi, atau sebaliknya. Saya ingatkan, sudah saatnya berhenti membaca kalau berpikir bahwa ini hanya sebuah tulisan omong kosong yang amoral.
Tantangan berbuntut tantangan, alih-alih menjadi “konsumen” lalu kenapa tidak menjadi “penyedia”, seperti yang Ramona utarakan. Saya bilang siapa yang takut, tapi akan sangat sulit. Ramona mengakui kesulitannya memang bertambah, tapi justru itu inti dari tantangan, semakin sulit maka dia akan semakin menantang. Dan sore itu, di kamar kos Ramona itu, kami setuju untuk saling mencarikan pelanggan untuk satu sama lain. Kenapa harus begitu? Karena bagi saya lebih mudah mencari pria yang mau membayar untuk seks, begitu juga untuk Ramona, lebih mudah bagi dia untuk mencari perempuan yang mau membayar untuk seks. Kitalah tahu, apa yang dibincangkan sekelompok laki-laki, juga apa yang dibincangkan sekelompok perempuan. Oh, memang, memang tidak semua.
Tidak lebih dari satu jam saya sudah dapat pelanggan untuk Ramona, tidak sulit menjual Ramona, cantik badannya luar biasa bagus. Laki-laki tenyata tidak mempertimbangkan sikap dan apa yang ada di balik kecantikannya. Tidak satupun dari dua orang yang saya tawari menanyakan itu. Saya tawarkan dua kenalan tadi untuk Ramona, satu dia pilih, setelah saya bilang kalau kenalan saya yang itu orangnya jauh lebih lembut dari yang satu lagi, meskipun tawarannya jauh lebih tidak menggiurkan dari segi Rupiah. Ramona sudah punya calon pelanggan, tinggal saya.
Sebetulnya saya sedikit ragu Ramona bisa carikan saya pelanggan, pun ketika harga yang ditawarkan termasuk murah (sekali lagi, murah) tetap saja sulit mencari kenalan dia yang mau memakai jasa saya. Sudahlah, itu kekhawatiran saya saja, nyatanya ada yang tertarik. Ketertarikan rekan kerja Ramona ada ketika dia menjelaskan bahwa saya seorang yang baik, tidak melulu soal seks, seorang yang dapat diajak bicara. Setelah sekira dua jam Ramona meyakinkan kenalannya, setelah dua foto saya dikirim, setelah si calon pelanggan bicara dengan saya lewat telpon, deal.
Saya dan Ramona lantas mengatur semuanya, dua kepala ternyata sanggup pecahkan masalah yang tidak pernah satupun dari kami hadapi sebelumnya. Tempat adalah masalah utama, selesai sebelum langit di luar gelap. Saya tentukan pukul tujuh pagi besok adalah waktu untuk kami kembali saling bertemu, di kamar kosnya saja. Itu batas, di mana semuanya harus berakhir, masing-masing dari kami harus mengakhiri. Lalu Ramona mundurkan waktu menjadi pukul sembilan, dan saya setuju. Saya kasi Ramona nomor kenalan saya, serta sebaliknya. Saya sudah minta kenalan saya untuk telpon Ramona satu jam sebelum waktu pertemuan. Saya wanti-wati agar Ramona selalu beri kabar, soal tempat, soal waktu, soal semua hal yang dia anggap penting. Ramona menurut, banyaknya senyum-senyum saja. Saya pergi dari kosan, pulang, bersiap untuk malam besar saya. Mulai tumbuh rasa khawatir.
Selepas mandi saya langsung hubungi Ramona, saya tanya apakah dia sungguh-sungguh mau melakukan ini. Dia jawab keraguan tidak akan membawa kami ke mana-mana. Ya, itulah Ramona. Malah saya yang khawatir. Lebih ke rasa takut, luar biasa takut. Saya telpon Ramona lagi, berkali-kali, hanya untuk tanya apakah dia betul-betul yakin akan semua ini. Jawabannya sama, malah ejekan semakin bertambah. Sudah sekitar setengah jam saya memandangi kaca sambil setiap satu menit menelpon Ramona, saya akhirnya bertanya harus pakai baju apa dan bersikap seperti apa. Ramona kasi petunjuk, jadi diri sendiri saja. Entah kenapa, saya malah bingung, saya ini seperti apa? Ramona bantu saya, pikirkan satu karakter, ikuti apa yang dilakukannya. Saya pilih-pilih, akhirnya bertemulah karakter di kepala. Saya tetapkan, dan semuanya menjadi lebih mudah.
Saya pakai kemeja lengan panjang, celana jeans warna gelap, dan pakai banyak-banyak pewangi. Rambut saya keringkan terlebih dahulu, setelah tadi keramas, tidak seperti biasanya. Cukuran, pasti. Lebih percaya diri. Saya nyalakan rokok, waktu menujukan pukul tujuh malam lebih, saya telpon Ramona, tidak dijawab. Dan saya semakin khawatir. Semakin takut. Saya kirimi pesan singkat, ingatkan dia untuk beri kabar. Jantung mulai berdegup tidak normal.
Beberapa pertanyaan mondar-mandir di benak saya, soal apakah ini semua jebakan, atau soal apakah nanti teman kencan saya adalah wanita bersuami? Lalu apakah kencan saya punya anak, atau apakah saya akan mendapatkan bayaran? Lantas bagaimana kalau saya tidak sanggup bikin kencan saya puas? Yang lebih parah lagi, bagaimana kalau saya pergi saja batalkan janji? Semua pertanyaan tadi diatasi oleh pesan singkat balasan dari Ramona, jangan jadi penakut katanya. Saya hela nafas, pergi ke tempat di mana saya harus bertemu kencan saya.
Tepat pukul delapan saya sampai di sebuah lounge yang disepakati, sebetulnya bukan lounge, tapi tempat yang dibuat seperti lounge. Saya pesan kopi dan makanan, kasi kabar Ramona, kasi kabar kencan saya. Detail.
Hampir dua jam saya menunggu, tidak ada balasan dari Ramona, pun begitu dengan kencan saya. Saya mulai khawatir lagi. Saya kirimi kencan saya pesan singkat lain, saya bilang jam sembilan dia belum datang, saya pergi. Dia balas dengan telpon,
“Aku udah di parkiran, tunggu bentar” katanya. Nafas saya sesak.
Ketika Ramona bilang teman kencan saya adalah rekan kerjanya di toko buku besar itu dia tidak bilang kalau si kencan saya ini dua atau tiga tingkat pekerjaan di atas dia. Ini saya yakini, dari cara dia berpakaian. Sebuah gaun malam berwarna hitam dengan belahan rendah dan punggung terbuka, dan entah apa itu namanya tapi sepertinya bukan kalung murahan yang melingkar di lehernya. Rambutnya hitam bergelombang, terurai. Saya sulit bedakan apakah dia pakai make-up atau tidak, antara dada, leher dan mukanya tidak terlihat gradasi hasil sapuan kosmetik. Bibirnya merah, merah elegan. Elegan, ya, perempuan ini elegan. Tidak sering saya temui sehari-hari, itu yang pasti. Lutut saya bergetar hebat, keringat dingin di kepalan tangan. Rasanya saya tidak siap menghadapi yang seperti ini.
Perempuan itu sekarang berdiri di seberang meja, tesenyum,
“Malem. Andri?”
Saya berdiri, menjabat tangannya kikuk,
“Betul, saya teman Ramona” saya bukakan kursinya,
“Makasih” dia duduk, saya kembali ke kursi, “Aku Donna, satu tempat kerja sama Mona” saya lihat dia mematikan telepon genggamnya, mengeluarkan rokok dan pematik dari dompetnya. Kami mulai menyalakan rokok. Saya mencari-cari rencana yang tadi sore sudah saya susun dengan rapi, hilang semua entah ke mana.
Donna membuka buku menu, bergumam, “Let’s see what’s good here..” matanya masih menelusuri menu. “Did you order something to eat, dear?”
“Saya sudah makan” jawab saya cepat.
“Kopi, more coffee? I’m so sorry, macetnya parah banget” mukanya merengut, tangan kirinya memegang tangan kanan saya.
“Tak mengapa, ini weekend lagipula” entah kenapa, pun saya sendiri menganggap apa yang saya katakan adalah cermin dari kegugupan. I’m a fucking dead man. Tidak lama kemudian pelayan datang, berdiri di samping meja dengan catatannya.
“Itu apa, sayang?”
“Croissant” saya menyodorkan piring kosong tadi ke pelayan.
“Aku mau itu juga, dong. Umm.. Chateau La Coudraine?” pelayan mengangguk, Donna mengangguk dan tersenyum. Pelayan meninggalkan meja. Itu dia kesalahan pertama saya, seharusnya saya pesan wine sedari tadi. Saya bicara sama diri sendiri, saya tidak siap untuk ini semua. Beruntunglah saya pakai kemeja dan sepatu kulit, kalau saja saya jadi pakai kaos dan sepatu kanvas tadi, saya sudah pergi di detik Donna masuk ke lounge.
“So,” Donna menyimpan rokoknya di asbak, berdiri, “am I pretty enough for you tonight, dear?” kedua alisnya terangkat.
“You are, definitely”
“I never wear this dress before, you know?”
“Oh ya?” degup jantung mulai terasa tidak menentu, cepat, sungguh cepat.
“I do,” Donna kembali duduk, “I think you’ll love it. Kamu suka kan?” saya jawab dengan anggukan.
“Terus, ngapain kita sekarang?”