Dibungkus: Bakso Superindo Dago
Pertengahan bulan Maret ini hujan masih rajin mengguyur kota Bandung, terutama dari siang ke sore hari. Sore tadi, seperti biasa, Ami mengirim pesan “Kalau pulang beliin bakso solo ya, sekalian beli Rhinos”. Rhinos itu obat flu, bakso solo itu bakso kampung yang isinya mie kuning agak keriting, sayur, kecambah dan tentu saja bakso.
Kalau lagi flu, istri saya memang paling doyan makan yang kuah-kuah anget.
Di pikiran saya yang ada toko obat dan bakso solo itu ya di sekitar Superindo Dago, setelah perempatan Sulanjana-Dago sebelum pertigaan Dago-Tirtayasa. Pulang kerja langsung menuju Superindo, saya baru sadar kalau tukang baksonya pindah ke area parkir motor Superindo, sebelumnya ada di trotoar. Beberapa tukang jualan yang biasa nongkrong di trotoar Dago memang sepertinya ditertibkan.

Ada dua lapak bakso di sini, seingat saya keduanya sama saja, masih bersaudara. Rasanyapun sama. Satu di area masuk parkiran, satu lagi di area keluar parkiran. Keduanya kini mundur sedikit ke belakang, masuk ke area parkiran.
Saya bungkus satu porsi bakso dari penjual yang mangkal di area parkiran motor, berarti yang sebelumnya di area masuk parkiran. Penjualnya bapak-bapak tua. Yang ngantor sekitar sini pasti hafal betul dengan lapak bakso solo ini.
Khas bakso solo ini adalah kuah yang bening, tidak terlalu pekat oleh air kaldu. Baksonya ada dua macam, satu yang rada besar dan bakso kecil-kecil. Ada bakso yang isinya daging cincang atau telur puyuh, ada juga yang polos. Mienya kecil-kecil sedikit keriting, tidak lembut seperti mie telor. Mie kuning, yang suka makan bakso pasti hafal.

Cukup bayar Rp. 12.000,- untuk satu porsi bakso campur. Murah, lumayan mengenyangkan. Kalau datang ke sini pas jam istirahat, siap-siap antri. Kedua lapaknya pasti penuh.