Jurnal #0003 Merakit-rakit Dahulu
Sudah hampir satu tahun pandemi bernama COVID-19 memaksa orang untuk mengubah kebiasaan, termasuk saya. Saya awalnya, seperti orang lain, bekerja di kantor dengan workstation yang disediakan kantor, namun karena harus bekerja dari rumah maka akhirnya menggunakan laptop. Laptop sejatinya bukan untuk digunakan dalam jangka waktu yang lama, tidak seperti desktop. Salah satu indikasinya adalah airflow yang kurang memadai, kecuali laptop yang digunakan adalah laptop gaming seharga 20 juta rupiah ke atas maka sudah dipastikan akan mudah panas apabila digunakan lebih dari 4 jam misalnya.
Selama satu tahun ini laptop saya sudah dua kali menemui masalah. Tahun lalu IC Powernya mati, kebakar. Antara kepanasan atau karena dicolok terus ke colokan listrik (saya tipe orang yang pake laptop sambil colok listrik). Masalah kedua datang awal tahun ini, LCDnya bergaris. Masalah pertama sudah diatasi, cost me around 700k, nyala lagi normal. Masalah kedua sulit untuk diatasi, karena pilihannya adalah ganti LCD, dan itu mahal.
Akhirnya, saya memutuskan membangun sebuah desktop.
Awalnya saya akan upgrade PC lama saya, Phenom X3 dengan 2GB RAM dan Radeon HD 5500, yang dibangun sekitar 10 tahun lebih (2008 seingat saya). Namun karena sangat jauh tertinggal dan sulit mencari komponennya (Motherboardnya yang hanya support DDR2 dengan hanya 2 slot RAM) maka..
Akhirnya saya memutuskan untuk membangun sebuah desktop yang baru.
Tapi ternyata, budgetnya tidak besar. Tidak masalah, dari dulu saya paling suka mendapatkan hal yang paling bagus dengan budget yang ada. Jadi dimulailah perburuan bahan-bahan bagus dengan harga murah atau lebih dikenal dengan budget (friendly goods).

Central Processor Unit (CPU/Processor)
Walaupun tidak selalu, namun pada umumnya pilihannya akan ada dua: Intel atau AMD? Saya adalah penggemar berat AMD, namun sempat terpikir “Sesekali ah pake Intel” saat mulai mencari kemarin. Google is your best friend, hasil browsing sana-sini ternyata sampai saat ini AMD masih menjadi pilihan para budget builder. Belum lagi stigma bahwa processor AMD panas sudah tidak lagi diamini, bahkan dengan kipas bawaannya AMD Ryzen sudah sangat “dingin” dan tidak membuat khawatir penggunanya. Oke, Ryzen paling bawah adalah Ryzen 3. Saya tertarik dengan Ryzen 3 3300X sebuah processor AMD Ryzen generasi ketiga yang menggunakan teknologi Zen 2 bla.. bla.. bla.. tapi harganya di atas budget (tidak lebih dari 2 juta). Jadi saya pilih “adiknya” saja, Ryzen 3 3100. Karena dibandingkan dengan processor Intel seharga sama, ternyata masih menang doi.
Harganya sekitar 1,7 juta saja. Teknologi cukup kekinian, hasil benchmark bagus. Hajar!
Motherboard
Ryzen 3 ini oke karena sudah mendukung teknologi PCIE generasi keempat, socket AM4 (socketnya Ryzen) yang sudah menggunakan teknologi ini adalah seri B450 ke atas. Pilihan jatuh kepada Asrock B450 Steel Legend yang melegenda karena murah tapi mumpuni. Harganya juga masuk akal, masih di bawah 2 juta. Sayang, saya tidak punya budget sebesar itu, karena harus sapre budget dengan PSU dan VGA Card (Ryzen 3 tidak memiliki GPU terintegrasi). Jadi cari lagi yang lebih murah, ternyata ketika cek cek benchmark processor ada satu motherboard seri lama (sudah ketinggalan 2 generasi) yang selalu muncul, seri A320. Harganya setengah seri B450.
Pilihannya banyak, ada Asus, MSI, Gigabyte, Asrock, dsb. Saya pilih MSI A320M (M untuk versi Micro ATX, kecil) dengan harga 700 ribu-an. Sayang, barangnya habis di mana-mana (Tokped ya). Pas kontak toko langganan dulu, eh mereka ready-nya Asus A320M Prime, beda 100 ribu doang lebh mahal. Ya udah gapapa, hajar ini deh.
Memory (RAM)
Selain AMD, merk yang selalu saya percayai adalah Team. Saya hanya pernah dikecewakan sekali saja oleh Team, saat membeli SD Card buat HP. Error melulu. Tapi, karena garansinya lifetime, saya bisa claim ganti baru. Jadi ketika memilih RAM, pikiran saya langsung ke Team. Ya udah Team aja. Syaratnya harus sudah 3200 Mhz dan support dual channel. Yang saya inginkan sebenarnya seri T-Force (harganya 1,5an untuk 16GB 3200MHz.), tapi berhubung lagi-lagi budget, maka akhirnya beli yang seri T-Create. 16 GB cukup ya. 1,1 juta udah ada heatsink, garansi lifetime.
VGA (Graphic Card)
Nah, ini yang bikin pusing. Makin dicari makin bengkak budgetnya. Kalau ini saya selalu beli Radeon, entah karena sama-sama AMD mungkin. Tapi sempat juga mempertimbangkan GeForce, GTX 1030 tepatnya (karena saya memutuskan untuk membudgetkan sebesar 1 juta lebih sedikit saja buat VGA (karena kalau tidak bisa jauuuuh.. lebih bengkak budgetnya). Coba sya bandingkan dengan Radeon seharga, eh, GeForcenya dapet review kaya gini di situs benchmark: “Useless office GPU”. Okeee.. coba Radeonnya apa, RX 550. Cari deh.
Dapetnya merk MSI, sayang sejak tahun lalu versi 128bit-nya hilang dari pasaran, ya sudah akhirnya beli yang ada (versi 64bit). MSI RX 550 OC 2 GB DDR5 ditebus seharga 1,1 juta.
Btw, harga VGA (GPU) Card sekarang lagi meroket parah due to harga Bitcoin yang nanjak juga. Apalagi yang RAMnya di atas 4GB, bisa dua kali lipat harga sekarang (April 2021)! Si RX 550 2GB ini kalau normal harganya di bawah 1jt loh.
Storage (HDD/SSD)
Awal tahun lalu HDD laptop saya ganti SSD, jauh banget performanya, terutama di kecepatan baca/tulis. Daya tahannya belum teruji, orang baru 1 tahun. Nah, yang ada di pikiran adalah HDD bekas laptop bakal saya pakai untuk simpan data di desktop baru. Masalahnya OS-nya mau pakai apa?
Pilihannya ada SSD dengan socket SATA biasa atau NVME/M.2?
Menghemat budget, saya cari SSD yang SATA saja. Lebih murah. SSD 480 GB merk Colorful jadi pilihan, kebetulan di kantor juga pakai merk yang sama jadi ada referensi kinerjanya. Jadi OS pakai SSD, data pakai HDD laptop (2 TB). Harganya 700rn-an. HDD untuk data mah bekas laptop saya pake lagi, tapi kalau beli ya sekitar 500rb-an.
Power Supply Unit (PSU)
Oke, di bagian ini saya serahkan kepada yang lebih ahli: penjual. Saya minta yang 80+ Bronze pure power dengan harga yang murah namun bergaransi lebih dari 1 tahun. Admin GX Comp. menyarankan saya pakai Enlight saja, wow dulu juga lumayan oke ini merk. Punya reputasi. Ambil deh yang 400 watt cukup, minimum yang disarankan GPU tadi. Sekalian casingnya juga Enlight, sepaket sekitar 800 ribu-an dua ini. Oke saya ambil.
Satu hal yang perlu disoroti, bahkan casing entry level pun saat ini semua kerlap-kerlip. RGB bahasa kerennya. Walaupun saya kurang suka, tapi katanya bisa dimatikan. Oke, no problem.
Monitor
Saya pake HP 19 inch, bekas pemakaian di PC lama. Masalahnya, dengan spesifikasi yang seperti di atas, sayang banget pakai monitor ini. Dalam waktu dekat saya sudah ngeceng Samsung S24R350, sebuah monitor 24 inch denganm panel IPS. Harganya ternyata tidak terlalu mahal, 1,7jt-an. Mari kita lihat apakah terbeli bulan ini atau tidak.
Tampilannya sedikit ganjil karena kotak CPUnya lebih besar daripada monitor yang mana seharusnya lebih besar karena tempat pengguna berinteraksi.

Hari ini, saat post dibuat, sudah hampir 2 bulan pakai PC ini. Sangat-sangat memuaskan. Dengan budget tidak sampai 7jt barang yang saya dapat sangat bisa diandalkan. WFH lebih nyaman karena tidak berkutat dengan monitor laptop yang mungil (padahal 15 inch laptop saya teh). Sesekali juga saat butuh hiburan saya bisa main game (currently playing Call of Duty Warzone, game FPS Online yang super seru dan realistis).
Untuk edit video juga kenceng, beda banget saat pakai laptop. Thanks to CPU and GPU entry level yang pas IMO. Setiap Filmora render, hardware accelelatornya diaktifin, wussh..