Mandor Kareta
Tujuh jam setiap harinya saya duduk di sini, bosan memang, tapi ini demi kebaikan. Kebaikan dan beberapa kilogram beras, juga lembaran rupiah yang tidak banyak. Seringnya, kebaikan hanya jadi nomor kesekian, perut itu permasalahan utama.
Saya mandor di beberapa proyek kecil dan tidak tetap, kalau ada pekerjaan dari kelurahan, saya ikut. Bukan jadi mandor sebenarnya, lebih ke keamanan. Mandor itu panggilan dari mereka yang kenal saya, mungkin karena saya sering terlihat di proyek tapi tidak bekerja sebagai kuli. Proyek-proyek kecil itu seperti perbaikan jalan, perbaikan saluran air, atau hanya sekedar pengecatan pembatas jalan. Tidak pernah pasti kapan proyek itu datang, kalau Pak Lurah sedang baik hati menyalurkan dana pada tempatnya, berarti saya punya pekerjaan. Karenanya, bisa dibilang pekerjaan utama saya menjaga pintu perlintasan kereta api ini, tujuh jam per hari, enam kali seminggu. Mungkin itulah kenapa saya dipanggil Pak Mandor Kareta (Kereta dalam Basa Sunda).
Ada tiga orang penjaga tetap di perlintasan ini, saya dan dua orang lainnya. Kami membagi tugas, masing-masing tujuh jam giliran jaga. Tiga jam sisa fleksibel, biasanya jeda tiap giliran kami isi berdua dengan yang akan mengganti. Lagipula, ada waktu kosong di mana kereta tidak akan lewat, ini juga tidak tentu, tergantung jadwal dari PT Kereta Api (PTKA). Jadi jadwal kami memang tidak menentu. Kesepakatan dan jadwal kereta. Sisa satu hari kami libur, ada tiga orang lain yang khusus bekerja di hari Minggu. Tiga orang ini hanya bekerja di hari Minggu karena mereka punya pekerjaan tetap dari Senin sampai Sabtu. Kami berenam bisa saling menggantikan, sesuai kesepakatan.
Kami berenam secara tidak langsung digaji oleh masyarakat, tidak ada gaji dari PTKA maupun pemerintah. Kalau anda yang menebak penghasilan kami dari kencleng, anda setengah benar. Uang hasil dari kencleng itu seringkali tidak mencukupi gaji, masyarakat sekitar perlintasan memberikan sumbangan yang biasanya disatukan dengan uang keamanan (Satpam). Kalau dua sumber itu tidak mencukupi, apa boleh buat, toh pekerjaan ini sifatnya sukarela. Lagipula, untuk saya pribadi, dengan umur kepala lima dan pendidikan hanya sebatas sekolah dasar, sulit mencari pekerjaan lain. Beruntunglah, terkadang ada beberapa warga yang menyumbangkan beras atau pakaian untuk kami. PTKA juga kadang memberikan hadiah, biasanya kalau menjelang Lebaran.
Ada satu kejadian yang membuat saya sempat berpikir untuk berhenti. Pernah ada satu keluarga, suami-istri dan dua naknya, yang memaksa menerobos palang perlintasan yang kami buat seadanya dari bambu, tidak lama kemudian mobil mereka dihantam KRD dari arah Timur. Mobil dan satu keluarga di dalamnya seketika terseret delapan meter. Tidak ada yang selamat. Keduanya suami-istri anak tunggal dari orang tua masing-masing, satu generasi terputus. Setelah kejadian itu saya sempat berhenti selama beberapa bulan, kembali menjaga karena memang tidak ada lagi orang yang mau, lagipula saya kekurangan uang. Jadi, bukan tanpa alasan kalau saya bilang salah satu alasan saya melakukan ini adalah karena kebaikan.
Sebelum menjadi penjaga perlintasan, saya bukan orang baik. Menghalalkan segala cara demi medapatkan uang yang pada akhirnya akan habis hanya untuk bersenang-senang. Itulah kenapa saya baru menikah ketika umur berkepala empat. Sekarang, setelah punya keluarga, kehidupan saya membaik. Saya punya anak umur 11 tahun, istri saya bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah Pak Lurah, masuk pagi pulang sore. Kami tinggal di belakang kelurahan, saya sedang menabung, rencananya kalau uang terkumpul, istri akan saya minta untuk berjualan kopi sepulang kerja. Lumayan untuk tambahan, anak saya sebentar lagi masuk SMP, akan butuh biaya lebih besar.
Saya percaya tidak pernah ada kata terlambat untuk berbuat baik. Kami memang tidak pernah resmi dipekerjakan oleh siapapun, tapi semoga anda mengerti, kami bekerja untuk keselamatan anda. Kepatuhan anda yang kami minta, adalah untuk diri anda sendiri. Dan satu lagi, kalau anda lewat perlinasan kami, isilah kencleng atau setidaknya sapa kami walaupun itu hanya senyuman.