Senemu 2.1 Sangkuriang
Menjelang magrib rintik hujan mulai menapaki bumi sore itu, berlanjut sampai kami selesai menunaikan ibadah salat magrib dan menyantap makan malam. Rupanya saya, yang satu minggu tidak menikmati kopi, belum diperbolehkan ngopi malam itu.
Tapi ternyata hujan hanya memberi kesejukan sejenak, tidak lama kemudian reda, dan denyut nafas kehidupan terdengar kembali di malam terakhir sebelum Ramadan menjelang. Ami bergegas berganti pakaian, berhijab, kemudian mengganti pakaian Kinanti juga dengan lengan panjang dan celana panjang. Tidak lupa jaket, terutama untuk saya dan sang anak.

Tujuan kami malam kemarin adalah sebuah kedai kopi yang ada di ujung kawasan Sangkuriang, Senemu nama kedainya. “Angka 2 itu menunjukan kami telah berpindah sebanyak 2 kali, sedangkan 1 menandakan sebuah lembaran baru, 2.1” ujar sang barista.
Lokasi saat ini memang baru saja mereka tempati selama kurang lebih 5 bulan. Senemu dimulai sekitar akhir tahun 2017, dan bertahan serta semakin luas.


Secangkir cappuccino berhasil menghangatkan tubuh saya sedari tegukan pertama. Obrolan dengan sang barista berlanjut dengan perbincangan mengenai alasan penggunaan Aceh Gayo di Senemu, meluas sampai bagaimana inkonsistensi hasil roasting beberapa pengrajin kopi lokal di Bandung dan sekitarnya karena kebanjiran permintaan dari ratusan kedai di dalam dan luar kota. Kami setuju, hal tersebut merupakan keniscayaan, industri ini sedang menggeliat, berkembang sangat pesat dalam dua tahun terakhir.
Perkembangan itu menggembirakan, bisa menghidupi banyak orang seperti dua barista yang saya ajak ngobrol malam itu. Juga membahagiakan penikmat kopi, seperti saya dan Ami. Tinggal bagaimana para pelaku bisnis setengah seni ini menjaga agar semuanya tidak berlebihan, tidak terlalu kencang, pelan saja tapi pasti istilahnya.

Udara malam Dago yang berpelukan dengan embun hujan mulai semakin dingin, saya menyudahi perbincangan ketika pesanan roti jeruk selesai dihangatkan dan sudah siap untuk dinikmati. Dari meja bar saya kembali ke meja kami, menikmati kehangatan senyuman kedua perempuan yang selalu ada di dekat saya. Sungguh luar biasa rasanya, secangkir kopi yang dulu berbuah filosofi sekarang berubah fungsi, untuk menemani, kami.
Senemu kaya ruang terbuka, pencahayaan temaram tidak membuat kedai ini jadi terlalu gelap untuk dinikmati. Kinanti bahkan sempat berlari kesana kemari sebelum akhirnya lelah dan mengantuk, menyisakan saya dan Ibunya yang kembali kasmaran, terbawa roman malam di Bandung selepas hujan. Di sebuah kedai sederhana, di Senemu.


