Jurnal #0007 Adaptasi
Pada saat jurnal ini dibuat, Bandung sedang diguyur hujan lebat sejak maghrib. Saya baru pulang dari salah satu tempat yang mengkhususkan diri menjual pancake di bilangan Ciumbuleuit. Udaranya dingin, pasti. Tapi suasananya enak, ditambah dengan iringan live music akustik. Walaupun sesekali saat musik jeda, terdengar suara 8bit khas Mario Bros karena Kinan selalu menyetel volume HP atau Switch ke maksimal. Berisik katanya.
Saat sedang memesan, saya bertanya ke Ami terkait adanya tempat dengan nama yang sama di mall besar di Jakarta, Grand Indonesia atau GI. Tiba-tiba seorang pria yang berdiri tidak jauh dari tempat kami duduk menjawab bahwa memang betul mereka juga punya cabang lain di GI, dan dalam waktu dekat akan membuka cabang lainnya di Jakarta Utara. PIK sahut saya, dan memang betul di sanalah rencananya si cabang baru tadi akan dibuat.
Obrolan kemudian berlanjut, dia menimpali pernyataan saya tentang pilihan jaringan resto/cafe yang senang membuka gerainya di mall Jakarta, sementara di Bandung tempatnya seringkali stand alone atau berdiri di tempat terpisah yang bahkan jauh dari mall. Adaptasi, walaupun produknya sama tapi penawaran pengalaman pelanggannya berbeda. Konsumen di Bandung mah sukanya nongkrong lama di tempat yang luas dan nyaman, sementara kebanyakan orang Jakarta lebih suka kalau jalan itu ya ke mall dengan segala pertimbangannya mulai dari parkir sampai tempatnya yang ber-AC. Dia, atau dalam hal ini jaringan kuliner, menyesuaikan diri dengan pola kebiasaan calon konsumennya. Mereka beradaptasi.
Adaptasi seringkali jadi (salah satu, setidaknya) faktor penentu keberhasilan. Baik itu ketika bicara bisnis, maupun ketika bicara karir dalam pekerjaan. Saya ingat ketika dulu saat masih SMA sering bermain game Football Manager, index kemampuan adaptasi dari seorang pemain harus menjadi pertimbangan saat melakukan pembelian/transfer. Kalau kemampuan adaptasinya rendah, besar kemungkinan pemain dengan skill yang bagus sekalipun tidak akan betah ketika kita ikat kontrak.
Jadi, kemampuan beradaptasi itu penting.
Pikiran kemudian berlanjut ke kehidupan sesehari di kantor. Sebagian kecil orang masih sulit menerima pergantian pimpinan atau rekan kerjanya, bahkan setelah 2 tahun pergantian itu terjadi. Yang sekarang terasa adalah orang-orang tadi kesulitan untuk beradaptasi, sehingga langkah kerjanya tampak terhambat. Lagi-lagi, saya pikir kemampuan tersebut adalah hal yang mendasar. Pegawai yang sulit beradaptasi akan sulit juga mengikuti ritme pekerjaan dengan partner barunya, apalagi kalau dengan pimpinan yang sifat pekerjaannya top down dan menerapkan kebijakan baru.
Sulit, atasan yang percaya diri bahwa formulanya sudah pas dan nyatanya efektif diterapkan akan “meninggalkan” pegawai yang enggan beradaptasi. Tidak baik tentu saja, tapi pilihan lainnya adalah mengikuti satu atau sekelompok kecil orang tadi. Solusinya, re-posisi atau alih tugas ke ranah yang baru, agar adaptasinya sekalian dipaksakan dengan harapan akan perubahan yang ekstrim tadi (karena memulai ulang) akan menumbuhkan kemampuannya untuk beradaptasi. Sebab kadang, manusia terlalu nyaman dengan apa yang sudah ama kita tekuni.
Oh ya, Kinanti dalam dua hari ke depan akan mulai sekolah. Semoga, harapan saya, dia akan mudah beradaptasi dengan lingkungan barunya. Dia terbiasa sendiri, tidak ada tetangga yang sebaya, bertemu saudaranya yang sebaya juga tidak sering. Di sekolah, dia akan bertemu dengan banyak anak seusianya, dan tebakan saya kan menjadi hal yang sulit karena dia akan terpaksa untuk belajar berbagi. Menyesuaikan diri dengan temannya, menyesuaikan diri dengan orang tua yang bukan orang tuanya (guru).
But I trust her, dua hari trial minggu ini menghasilkan kabar baik. Istri saya berkata bahwa dia cukup bangga dengan Kinanti selama masa penyesuaian kemarin, ga pernah nemu masalah. Baba’s girl will enter a new world, dunia dimana dia akan didorong untuk sering membuat keputusan sendiri tanpa didampingi orang tuanya. And we believe in her.