Jurnal #0006 Berkesenian
Seni, sesuatu yang selama dua tahun kebelakang selalu menjadi bagian dari keseharian saya. Bukan membuat seni, tapi bekerja di sekitarnya. Menikmatinya tentu saja tidak pernah berhenti. Dan apakah bekerja di dekat seni ini menjadi membuat saya semakin paham akan seni? Tidak.
Di akhir pekan lalu, saya berkunjung ke salah satu mall di Ibu Kota dan mendapati satu dinding penuh mural warna-warni. Dinding seni katanya, wall of art. Saya abadikan sedikit, kagum akan kemegahannya:

Satu hal yang saya pahami betul dari seni adalah sebagai media. Media itu beragam, satu yang pasti adalah tempat untuk menyampaikan sesuatu. Oke, dipahami. Tapi ketika mendengar orang berkata “seni (melakukan sesuatu)” maka buyar sudah pemahaman tadi. Seni kemudian menjadi cara, jalan. Bicara cara maka seni menjadi pilihan.
Berapa kira-kira budget yang disiapkan oleh pengelola mall itu agar dindingnya bisa dilukis/digambar oleh si seniman?
Seni kemudian menjadi komoditas.
Saat tulisan ini dibuat, istri saya baru saja berhasil menidurkan Kinanti. Seringkali terdengar perdebatan mereka tentang hal-hal yang mungkin menurut kita kecil, tapi bagi mereka sepertinya mendasar. Ami menerapkan disiplin, Kinanti mempertahankan keinginannya. Ada yang lucu ketika Kinanti menangis, mencoba mempertahankan apa yang dia inginkan. Sudah lima tahun umurnya, dan seni mempertahankan keinginannya tidak berubah: menangis.
Tidak terasa anak ini sudah mau sekolah (Taman Kanak-kanak) dalam 2 minggu kedepan. Ada rasa khawatir, senang, bangga, bercampur semua. Karena begitu beragam rasa yang muncul, akhirnya saya hanya diam. Dan kembali menarik kesimpulan bahwa semua rasa itu ada karena kasih sayang. Setiap orang punya caranya sendiri menghadapi fase ini. Bahkan saya dan istripun berbeda. Inilah seni menjadi orang tua.
Jadi hidup ini penuh dengan seni, bahkan ada itu istilah seni menjalani hidup. Hidup itu berkesenian.
Selamat malam, semoga selalu sehat dan bahagia.
Ditulis di Bandung, tanggal 05 Juli 2022 pukul 22:01 WIB.