Ramona
Ramona menekuk tubuhnya, tangannya mencengkram erat bahuku, nafasnya tertahan, matanya terpejam dengan mulut menganga. Seketika ia lemparkan kepalanya ke belakang, tubuhnya sekarang tercentang sempurna. Lengkuhan panjang menyertai lepasnya cengkraman jemari di pundakku, Ramona kini terlentang, tubuh kami licin karena peluh. Padahal ruangan itu berpengatur suhu. Detik-detik yang kami tunggu sejak kurang lebih satu jam yang lalu selesai, terlewati dan kami memuji Tuhan atas pemberianNya.
“Ini, kita meraihnya, memilih satu dari jutaan atau bahkan lebih yang disediakanNya” kepala kami berjauhan, pinggul kami masih saling melekat, hanya karena aku tahan dengan kedua tangan.
Di stereo, Joey Ramone mengawali Carbona Not Glue,
Wondering what I’m doing tonight I’ve been in the closet and feel all right..
Peluh cepat mengering, kami memilih menyalakan rokok dan meminum sisa air di gelas masing-masing. Ramona duduk di ujung tempat tidur di depanku, sedikit membungkuk dengan tatapan kosong. aku sibuk mencoba membaca rajah serupa kalimat dengan tulisan sambung gaya lama di sisi kanan punggungnya.
Hidup untuk diri sendiri dan apa yang diyakini.
“Kita bisa saja setiap hari seperti ini, kapanpun kamu atau aku mau, kita bercinta. Dari matamu, itu yang kamu inginkan bukan?” Ramona memecah hening. Aku diam tak bersuara, asik memainkan bentuk asap rokok.
“Tapi itu akan membuatmu manja, kenikmatan itu melenakan. Aku tidak ingin kamu berubah jadi para wakil kita di Senayan, setelah satu kenikmatan mereka lupa apa yang utama” ujarnya seraya tertawa kecil, seolah tahu tidak akan ada jawaban atas pertanyaan sebelumnya.
Dalam anggapanku perempuan ini punya sesuatu yang besar di dalam kepalanya, semacam kemarahan yang siap meledak kapan saja. Rasa penasaran telah membawaku masuk ke dalam banyak lubang-lubang yang terlalu dalam sehingga sulit untuk dapat keluar dari sana, tapi kini rasa penasaran juga yang menuntunku menuju Ramona dan dunianya. Ini sepertihalnya Sabila, seperti halnya gadis kecil yang aku temui di taman atau Rona dan Ibunya. Aku tidak pernah takut, mungkin karena resiko yang diambil ada bersama setumpuk keuntungan seperti yang apa selalu teman-temanku jelaskan. Tapi sungguh, aku tidak akan pernah peduli. Ini bukan soal percaya atau tidak, ini soal aku menjalani apa yang aku yakini. Seperti Ramona.
“Malam ini kamu pulang, biar tetangga adem, tidak usah repot menggunjingkan kita. Besok-besok boleh kamu tidur di sini” dia berdiri, membalikan badannya menghadapku, tersenyum.
Ramona merangkak di tempat tidur lalu berlutut di atas tubuhku yang ditutup selimut. Aku menarik lehernya, mencium keningnya. Dia lantas berbisik, “Jangan takut, kamu tidak akan kehilangan apa yang tidak kamu buang”