Terlalu London
Kurang lebih ini pukul empat pagi, di kota asalku kebanyakan orang baru akan mulai membuka hari. Terbangun dari tidurnya, bersiap melangkahkan kaki mencari istilahnya sesuap nasi. Padahal tidak semuanya hanya dapat sesuap. Tidak semuanya juga bangun sepagi ini, aku hanya anggap ini akan bagus sebagai pembuka sebuah cerita. Walaupun ternyata seadanya.
Tapi ini London, di sini beda, banyak orang baru memejamkan mata pukul empat pagi, apalagi ini akhir pekan. Kapan mereka tidur? James, kenalanku dari Yorkshire yang sekolah di London sini pernah bilang, “Hidup terlalu pendek untuk dihabiskan dengan tertidur”. James tinggal di London terlalu lama atau dia terlalu sering menonton 007, entahlah.
Ya, London ini serba terlalu. Aku terlalu tua datang ke sini, dan terlalu sebentar. London terlalu sempurna untuk imajinasiku. Terlalu jauh. Terlalu banyak yang aku sukai datangnya dari sini. Terlalu setia aku mencintai kota yang tidak pernah dapat aku rasakan cintanya. Ini terlalu jauh, mari kita kembali ke seberang perempatan Coburg di mana orang-orang muda baru saja keluar dari Bree Louise. Mereka tampak bahagia. Meskipun beberapa tergeletak tak sadar dia di mana, dan lihatlah ke arah Euston sana, dua gadis muda itu sedang buang air kecil sambil berdiri di trotoar. Oh, mereka tertawa. Tertawa tanda bahagia, bukan?
Banyak yang tertawa memang malam ini, sejujurnya beberapa menit yang lalu aku baru saja keluar dari pub itu. Suara tawa yang bikin telinga sakit, badan mereka besar-besar berbanding lurus dengan suara tawa mereka ternyata. Seingatku ada satu meja yang tertawa begitu keras tadi, isinya sekumpulan pemuda berbadan besar dengan tiga perempuan yang umurnya lebih muda dari mereka. Dari perbincangan mereka aku tahu kalau salah satu dari pemuda itu berbincang tentang Euston Square Hotel, Square Hotel itu tempatku menginap sejak dua hari lalu. Bukan sesuatu yang besar tampaknya, itulah mungkin kenapa mereka merayakannya di Bree sini. Ini sederhana.
Bree Louise adalah sebuah pub sederhana di tengah kota London, tidak jauh dari Euston Square Garden. Pub ini luar-dalam didominasi warna merah, merah semerah bus dek ganda kebanggaan London yang mungkin kita akrabi di buku kanak-kanak dulu. Ada meja piknik di luar pub, di dalam, meja-meja tinggi dengan kursi yang juga tinggi. Tinggi karena mungkin memang seharusnya bukan orang asia super pendek sepertiku yang datang ke sini. Dindingnya dari bata merah, digantungi foto-foto musisi 80’an yang menjadi langganan pub ini. Aku sempat melihat foto Oleg Lapidus, sang musisi Jazz lokal yang punya studio di sekitar situ. James bilang, Oleg sering main di pub ini. Saya bilang, siapa Oleg? Dan Oleg lumayan kami perbincangkan lama malam tadi. intinya adalah, Bree tempat yang enak tapi sederhana. Tidak hingar-bingar, tapi tetap lumayan bising sih.
Aku mulai berjalan pulang, kembali ke Square maksudku. Kutengok sekali lagi, kusempatkan mendokumentasikan Bree. Pub yang sederhana, tapi luar biasa itu. Luar biasa karena ini pub pertama yang kumasuki di London. Dua hari kemarin aku terlalu sibuk dengan tektek-bengek pekerjaan, mulai malam ini, saatnya jalan-jalan. Aku lihat petugas pemadam kebakaran atau malah mungkin itu polisi datang dengan van warna merahnya, mereka membantu orang-orang yang tergeletak terlalu mabuk di trotoar untuk kembali ke rumah mereka masing-masing atau menuju rumah sakit. Aku tahu itu dari James, James yang sedang tergeletak di kamarnya karena kebanyakan minum tadi malam. James aku yang antar, bukan para petugas itu. Bicara petugas, itu namanya pelayanan publik. Oh, gratis, oh London, terlalu.
Sekembalinya ke Square aku lekas masuk kamar, tidak mudah untuk tidur di sini memang, mantel belum kubuka aku lalu buka jendela. Melalui beranda aku memandang Utara, itu nama daerahnya Fulham. Besok menuju ke sana, ke Stamford Bridge untuk pertandingan Chelsea pertamaku seumur hidup. Fulham? Chelsea? Ya, Stamford Bridge itu lebih dekat ke Fulham dari pada ke Chelsea. Itulah kenapa derby antar mereka lebih panas. Karena tetangga tidak pernah akur, seperti halnya Iran dan Irak dulu atau Indonesia dan Malaysia. Ya, besok saya ke sana.
Kunyalakan rokok, memandangi cakrawala, menikmati dinginnya London dini hari. Teringat beberapa tahun lalu ketika saya terlalu banyak berkhayal tentang kota ini, duduk di depan komputer menulis cerita ini. Cerita tentang beberapa menit di Euston, London. Beberapa menit yang entah akan terlewati atau tidak. Terlalu.