Ramona dan Tanggung Jawab
“Setiap individu bertanggung jawab kepada dirinya sendiri serta kepada komitmen yang dibuatnya dengan lingkungan sosial di mana dia berada. Kepada Tuhan dan hal-hal yang tak terdefinisikan dengan mudah, biarlah dibahas orang lain yang lebih pintar” aku dengar dia bergumam, tangannya asik mencoreti buku catatan kecil.
Sore itu kami duduk-duduk di beranda kamar kos, di kursi rotan. Ramona bikinkan kami satu teko teh panas manis untuk teman kue wafer kiloan yang baru aku beli tadi sebelum datang ke mari. Di depan kami suara aliran sungai bersaing konstan dengan suara lalu-lintas di seberangnya. Petir berkilatan di sela-sela gedung tinggi dengan latar belakang langit kota yang mendung. “Ini sama sekali jauh dari romantis” ujarku.
Tetiba Mona menolehkan kepalanya,
“Andri, coba apa tanggung jawabmu?” dia melirik, tangannya menunjuk dengan pensil. Serius sekali Ramona sore ini.
“Kepada diri sendiri, adalah untuk memberinya kebahagiaan, kesehatan dan kesejahteraan serta tidak membawa ke arah kehancuran baik fisik maupun psikis”
“Lalu kepada lingkungan sosialmu?”
“Untuk menjalankan tanggung jawab terhadap diri sendiri tadi, aku berusaha untuk tidak melakukan hal yang bertentangan dengan mereka” angin berbalik arah, sekarang menerpa muka kami, bebauan yang khas. Dia mengangguk-ngangguk.
“Kita ini orang kecil, makan wafer juga kiloan, curah. Teh kita teh lokal bahkan kemasannya saja bukan kardus, baik teko maupun gelasnya tidak elegan. Bedakah tanggung jawab mereka yang jauh lebih beruntung dari pada kita?” mengangkat badannya dari sandaran, menjangkau wafer. Sekarang dia naikkan kakinya ke atas kursi, menghadapku.
“Yang aku katankan tadi cukup universal, setidaknya menurutku. Tanggung jawabnya mungkin sama, Mon, tapi caranya mungkin berbeda”
“Caranya pasti berbeda, aku sama kamu juga pasti beda. Itu berkaitan dengan bagaimana kita menyikapi suatu masalah, bukan?” sekarang aku yang mengangguk-ngangguk. Mona menuangkan teh di kedua gelas kami, meminum punyanya, menyalakan rokok. “Komitmen mereka, apakah sama? Apakah lebih rendah, atau malah justru semakin tinggi?”
“Entahlah, Mon. Aku tidak pernah jadi orang kaya macam yang kamu sebutkan tadi” aku berdiri, berjalan ke dalam.
“Mau ke mana kamu?”
“Ambil rokok”
Lalu dia mulai berceloteh, “Aku pikir pasti beda. Dengan segala kemudahan yang mereka miliki. Kemudahan kan bikin teledor, pasti komitmennya rendah”
Aku kembali duduk di kursi, menyalakan rokok, menghisap-hembusnya beberapa kali, menyimpan bungkus dan pematiknya di meja lalu menyeruput teh. Ini, nikmat.
“Ada baiknya untuk menjawab semua pertanyaanmu tadi kita kesampingkan penghakiman. Mereka, orang kaya, sama manusia seperti kita. Komitmen bukan soal kaya atau tidak, pun ketika kemudahan ada di depan mata, kadang ada saja yang tidak mengambil manfaat darinya. Maksudku, jangan sampai karena mereka lebih punya banyak, kita lantas menganggap mereka tidak hirau akan tanggung jawabnya. Mungkin tanggung jawab yang mereka malah lebih besar. Jauh lebih besar, juga begitu dengan komitmen mereka”
“Tapi aku lihat mereka seperti itu”
“Di mana? Di TV?”
“Salah satunya, di kantor juga”
“Dari milyaran orang di dunia ini, berapa banyak yang kamu kenal? Dari yang kamu kenal itu, berapa banyak yang orang kaya seperti yang kamu maksud?”
“Tidak banyak” dia membalik badannya, kembali mengarah ke depan.
“Teh ini nikmat, Mon” mulai hujan, angin besar bawa butiran-butiran itu ke beranda. Mona berdiri, angkat teko dan gelas. Aku bawa wafer, kami masuk ke kamar. Mona nyalakan TV. Dimatikan lagi.
“TV tidak beri kita apa-apa”
“TV tawarkan banyak hal, pilih apa yang kamu pkir akan beri kamu keuntungan” aku nyalakan lagi TV.
Cuaca buruk di Bandung, hujan lebat diperkirakan akan membuat air sungai meluap..
“Jadi kapan kamu pindah kosan, Mon?”