Ramona dan Pepohonan
Hari ini seperti melihat ke belakang, pepohonan maha banyak berderet membangun komposisi yang luar biasa indah. Di dalamnya, hanya yang kuat dapat bertahan hidup dan menikmatinya. Aku baru saja keluar dari sana, dan nyata, yang indah itu bukan untuk aku nikmati. Beberapa dari kita punya kemampuan untuk itu, sayangnya aku tidak termasuk.
Sebagian besar dari pepohonan itu terlalu ponggah, menengadah ke atas, tidak perduli dengan apa yang melintas di bawahnya. Kokoh, tapi angkuh. Indah, tapi sulit dimengerti. Abstrak, orang bilang begitu. Bukan sesuatu yang dapat aku selami, bukan sesuatu yang mudah aku mengerti.
Dulu katanya, aku harus menyatu, menjadi bagian dari semua itu. Siapa yang sanggup menolak menjadi bagian dari keindahan? Tapi juga siapa tahan diabaikan? Pernah suatu kali dahan salah satu pohon itu patah meluncur ke bawah, menimpaku tepat di pundak. Lenganku tak fungsi, belasan hari. Mengurangi pengabdian, logika enggan berfungsi seperti sebelumnya. Diabaikan.
Tidak lama dari itu, putusan diambil. Harus segera pergi, jauh dari deretan pepohonan, jauh dari keindahan. Ingin, siapa yang ciptakan? Aku yang cipta, aku yang mengangkatnya jadi harapan. Pepohonan itu mimpi, mimpi hanya ada dalam tidurku. Dan aku, aku terlahir dengan mata terbuka seperti yang kerap Ibu bisikan di pagi hari saat aku sulit mengangkat tubuh dari tempat tidur.
Tetiba Ramona memelukku dari belakang,
“Apa itu?”
“Cerita dari Jum’at sore” ujarku.
“Tentang aku?”
“Bukan”
Dia kembali ke tempat tidur, melanjutkan membaca buku, “Ini sudah larut, bukan waktunya memaksa otakmu bekerja. Kamu janji mau pijat punggungku”
Aku biarkan PC menyala, memasukan beberapa lagu ke daftar putar lalu berganti pakaian, Mona bertanya setengah menggumam,
“Siapa?”
“Seseorang. Letupan kecil lain karya semesta”
“Aku? Aku letupan kecil juga?” dia menolehkan kepalanya menghadapku.
Aku tersenyum, aku pikir itu pertanyaan serius sampai dia membuka kaca matanya dan mulai memasang warna muka menyebalkan tanda mengejek. Dia lantas membalik badannya,
“Pijat, utang!” suaranya kurang jelas terhalang bantal.
“Kamu, kamu letupan maha besar,” ujarku seraya berjalan menuju tempat tidur, “begitu besarnya sehingga memecah gumpalan-gumpalan yang mengambang di dalam semesta lalu membentuk dunia baru untuk kita tinggali kelak”
“Siapa bilang kamu boleh tinggal di sana?”
“Jangan membangun tembok yang terlampau kokoh, Mon. Kelak kamu hendak ke luar, kamu juga yang akan kesulitan merubuhkannya”
“Aku tidak pernah khawatir, sedikit demi sedikit kita merubuhkannya sekarang”
Pijatan itu tidak pernah selesai, kami kemudian menikmati semilirnya angin dari jendela cottage yang menerpa tubuh penuh keringat. Mona ingin kembali, aku bilang Desember ini.