Ramona dan Kerinduan
“Apa kabar kemanusiaan? Apa kabar nurani?” Ramona bergumam, aku bingung harus jawab apa. Aku nyalakan rokok, buka kaleng bir.
“Kenapa akhir-akhir ini mereka selalu mengkaitkan kematian dengan isu-isu populer? Orang mati dibilang pengalihan isu, orang mati dibilang teror, orang mati dibilang politik..”
Mona terlalu jauh, aku potong pertanyaannya, “Sudahlah,” belum sempat aku meneruskan kalimatku dia balik memotong.
“Maksudku kenapa orang-orang begitu berani mengkaitkan isu favoritnya dengan sesuatu yang begitu memilukan seperti kematian? Orang mati, jari diangkat ditunjuk sana-sini, tangan dikepal ke udara penuh emosi” dia membuka kalengnya.
“Maksudmu apa, Mon?”
“Kita harus menemukan nurani, ini soal kemanusiaan!” ujarnya setengah berteriak.
“Itu hak mereka, Mon. Seperti halnya juga kamu dibiarkan bertanya seperti tadi, itu hakmu”
Aku lihat Mona menenggak dari kalengnya, menghisap rokoknya dalam-dalam menghembuskan asapnya, menghisapnya lagi dalam-dalam, menghembuskannya lagi. Tetiba Mona menangis. Dengan terseguk suara paraunya masih mengeluarkan kata-kata,
“Tapi mereka didengar banyak orang, aku tidak” aku peluk Mona, kuusap punggungnya sesekali, air matanya semakin deras, “Aku merindukan nurani, Andri. Sebagaimana mereka mengingikan kekuasaan dan uang”