Musik Itu Mahal
Kecil kemungkinannya seseorang tidak mengenal musik. Saya pikir mungkin, apa lagi sekarang, musik mulai dikenal bersamaan dengan seseorang mengenal suara. Saya pernah, entah baca atau dengar, bahwa kepribadian seseorang dapat dibentuk ketika dia masih bayi di dalam kandungan hanya dengan memutar musik-musik tertentu di sekitar ibu yang sedang mengandungnya. Saya bukan seorang ilmuan, bukan ranah saya untuk menilai pernyataan tadi benar atau salah, tapi saya percaya musik dan itu menjadi alasan saya untuk juga percaya kepada pernyataan itu. Intinya, pernyataan semacam tadi ada untuk menunjukan betapa pentingnya musik untuk kehidupan seseorang.
Hampir semua orang yang saya kenal punya “rahasia kecil” (saya suka menyebutnya begitu) dengan musik. Mulai dari seorang profesor sampai dengan seorang pemulung sampah, dari nenek saya yang menginjak umur sembilan puluh tahun sampai dengan keponakan saya yang masih duduk di bangku pre-school. Pun begitu dengan apa yang mereka dengarkan, mulai dari musik klasik sampai dengan organ tunggal. Kebanyakan begitu, tidak semua bilang suka apalagi mencintai musik memang, tapi yang sedikit itu tetap saja punya setidaknya lagu kesukaan atau nada-nada tertentu yang menjadi bagian dari ingatannya dan membuatnya bersenandung. Singkatnya, pertanyaan semacam “Pernahkah anda mendengarkan musik?” tidak bahkan akan terlintas di pikiran kita.
Beberapa orang suka memulai harinya dengan mendengarkan album-album tertentu, beberapa mengakrabi musik karena bisa dijadikan teman saat mereka terjebak kebosanan, beberapa malah menjadikan musik sebagai bagian tidak terpisahkan dari kehidupan mereka. Kenyataan semacam itu membangun beberapa pendapat yang menyebut musik bukan semata-mata sebagai hiburan, musik adalah bagian dari hidup itu sendiri. “Seperti udara yang kita hirup” ujar salah satu teman suatu kali, “Semacam sembilan bahan pokok” ujar satu lagi teman menimpali. Saya dan dua teman tadi, bukan siapa-siapa dalam musik, tapi kami berani pertaruhkan sisa uang di kantong kami saat itu bahwa pernyataan kami benar adanya.
Kenapa saya bercerita di sini, adalah karena saya merasa ada yang tidak benar dengan apa yang disebut industrialisasi musik. Namun sejujurnya adalah karena tiket konser Incubus yang mahal, dan saya tidak sanggup beli.
Industrialisasi musik tidak sama sekali membuat saya keberatan, yang membuat saya keberatan (dan sudah sewajarnya kalian tidak peduli) adalah bagaimana industri tersebut menghapus kesempatan-kesempatan bagi para penikmat musik seperti saya untuk menikmati musik seperti orang lain yang sama-sama manusia namun secara finansial lebih beruntung dari pada saya. Ambil contoh konser Incubus tadi, digelar di Ibukota dengan harga tiket yang menurut saya lumayan mahal, dua teman saya tadi juga setuju kalau itu mahal apa lagi ketika itu digelar di ibukota saja (konser nanti adalah kali kedua Incubus datang ke Jakarta). Itu bagian dari industrialisasi musik yang kurang berpihak kepada musik itu sendiri. Industri, secara ekonomi, berarti mendatangkan keuntungan sebanyak mungkin. Kenapa harus begitu, ketika musik adalah bagian dari kehidupan itu sendiri? Kalau ini bagian dari keserakahan, saya berhenti bicara sampai sini, karena bagaimanapun sulit bertukar pikiran dengan mereka yang serakah. Tapi kalau ternyata ada argumentasi dari para praktisi musik yang masuk akal, saya bisa terima. Seperti misalnya para musisi mempunyai pencapaian tertentu dan kekayaan adalah salah satunya, kita semua punya hak untuk menentukan dan berusaha mencapi keinginan itu (selamat tinggal kepada pemusik yang seperti ini). Atau mungkin pernyataan yang lebih terpuji sepeti kekayaan yang mereka dapatkan dicari guna menghidupi kegiatan mereka di bidang lain yang sifatnya sosial, misalnya. Atau hanya sekedar bertahan hidup untuk cari makan, saya sungguh mengerti akan hal itu. Tapi saya yakin, alasan-alasan yang dapat saya terima itu, hanya datang dari para musisi. Bagaimana dengan record label dan para promotor konser? Karena saya pikir, dua pihak itu memegang peranan sangat besar dalam industri musik.
Atau mungkin ini hanya kesalahtafsiran saya dan dua teman saya tadi atas kata industri? Kalau begitu saya minta maaf.
“Kita yang salah, mungkin tidak seharusnya orang seperti kita menyukai Incubus sampai bercita-cita menonton konsernya” ujar teman saya, “Ya, mungkin kita memang harus menikmati konser gratis saja di Gasibu” teman saya yang satunya lagi menambahkan. Betulkah? Betulkah saya dan kedua teman tadi tidak seharusnya menginginkan untuk menonton Incubus karena mereka diperuntunkan untuk para penikmat yang punya uang saja? Karena ada satu lagi pendapat yang menyebutkan, saya tidak cukup mencintai Incubus sehingga alih-alih mengumpulkan uang untuk membeli tiketnya saya malah berkeluh kesah mempertanyakan soal industrialisasi musik. Kalau begitu seharusnya, mungkin benar bahwa cinta-mencintai itu memang mahal harganya. Dan tidak seharusnya saya menuruti keinginan untuk mencoba hal baru (seperti Incubus) di masa muda saya, serta hanya menjadi penggemar musik tradisional Sunda yang sudah saya sukai sejak dulu. Karena Incubus memainkan musiknya yang luar biasa itu hanya untuk kemudian menjualnya dengan harga yang tidak dapat saya jangkau, begitu? Saya pikir bukan mereka yang ingin menjualnya dengan harga semahal itu.