Ramona dan Persimpangan Kiri Jalan
Jum’at sore tengah Februari, aku dan Ramona sengaja membekali diri dengan perlengkapan piknik sedari pagi. Tikar dari bahan flanel yang biasanya jadi alas tidur kalau Bandung sedang dingin, kali ini akan digunakan untuk alas duduk. Mungkin rumput, mungkin hanya tanah merah. Untung warnanya sedikit gelap. Tidak mudah membuatnya terlihat kotor, tidak sulit untuk dicuci. Rencananya sore ini kami akan piknik di taman depan sebuah sekolah besar sekitar Jl. Ganesha, taman Ganesha.
Selepas pergantian shift di tempat kerjanya Ramona lekas aku jemput, mampir sebentar di mini market tidak jauh dari taman. Beli makanan, beli minuman, cukup untuk mengganjal perut sampai makan malam nanti dan teman bincang-bincang sore. Sekarang semuanya siap.
Hampir lupa, sore ini kami ditemani sebuah pemutar rekaman tua milik almarhum kakek. Usang, tapi masih bisa dipakai. Kami putar Liedjes Van Verlangen dari Wieteke Van Dort sore itu. Kasetnya aku beli di Cilaki beberapa tahun lalu saat perbaiki pemutarnya. Dan jadilah sore ini kami buat seperti sedang berada di salah satu taman di Belanda sana. Seperti yang sudah dibayangkan sebelumnya, sore ini luar biasa.
“Kita harus sering melakukan hal seperti ini” ujarku seraya membuka bungkus roti dan mulai menyantapnya.
“Kita masih harus mencoba banyak hal”
“Tapi ini menyenangkan”
“Bahkan hal-hal menyenangkan sekalipun kalau terlalu sering kita lakukan bisa jadi membosankan. Kau yang bilang itu tempo hari, bukan?”
“Maksudku tidak sesering itu, Mon”
Mona lantas mengeluarkan sebuah buku dari tasnya. aku pernah lihat sampulnya, itu buku karangan Soe, Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan. Cetakan pertamanya baru keluar 1997 lalu, dua puluh delapan tahun setelah penulisnya meninggal dunia. Dia sadar aku memperhatikan,
“Kamu sudah baca?”
“Belum” jawabku singkat.
“Nanti aku kasi pinjam”
Ramona punya banyak buku bagus, buku-buku yang mungkin langka atau bahkan sudah lama. Salah satu tujuan dia bekerja di toko buku adalah agar dapat mengumpulkan sebanyak mungkin buku untuk memenuhi kegemarannya membaca. Potongan harga dan akses ke database buku terbesar se Indonesia, seperti yang pernah dia bilang pada saat awal kami bertemu.
“Kamu mengerti kenapa aku enggan disebut kiri, Ndri?”
“Kenapa?”
“Karena pengertian kiri untuk beberapa orang terasa salah bagiku”
“Maksudmu?”
“Istilah kiri itu tidak diterapkan berdasarkan pengetahuan yang benar”
“Aku masih belum mengerti, Mon” ini sebenarnya paksaan agar dia menjelaskan, aku malas membaca, karena aku yakin tidak lama lagi Mona akan menyuruhku membaca buku itu sampai selesai.
“Berarti kamu harus baca buku ini”
“Malas”
“Bagaimana mau pintar kalau baca saja kamu malas?”
“Aku tidak ingin jadi pintar”
“Bodoh”
“Memang, dan tidak ingin jadi pintar”
“Tapi kamu tahu kan kiri itu apa?”
“Kebalikan dari kanan?” kemudian tertawa seolah jawabanku barusan itu lucu. Tapi ternyata Mona sedang serius.
“Itu, memang itu intinya” rotinya habis, Mona membuka air mineral kemasan miliknya, minum lalu mulai merokok. “Istilah kiri itu muncul karena memang kebalikan dari kanan, berlawanan”
Mona, kalau sudah mulai tertarik membahas sesuatu, tidak akan mudah untuk dipotong tidak bahkan dialihkan. Dia lalu melanjutkan,
“Kiri memang tentang politik, tapi banyak yang salah mengartikan kiri sebagai sebuah bentuk radikalisme. Padahal, kiri itu hanya sebuah sikap politik. Banyak dari orang yang menyebut dirinya kiri bahkan menolak untuk disebut komunis meskipun pada dasarnya sama-sama mengadaptasi pemikiran Marx. Yang lebih aku tidak nyaman lagi disebut kiri, banyak orang yang menerapkan pemahaman bahwa kiri itu kerap anarkis. Padahal, pengertian anarkisme bagi mereka hanya kekerasan, tok”
“Sejauh pengetahuanku, istilah kiri itu datang dari Prancis”
“Betul. Kalau kamu memang mengenal sejarah, pasti juga mengerti bahwa istilah kiri itu ada karena posisi tempat duduk di parlemen Prancis. Dan orang-orang parlemen yang duduk di sebelah kiri saat itu adalah mereka yang menuntut Revolusi Prancis, dimana kita ketahui sebagai langkah keberpihakan kepada rakyat kecil. Jadi pemahamanku akan istilah kiri adalah keberpihakan kepada kepentingan rakyat jelata. Bukan sembarang ugal-ugalan memaksakan sesuatu dengan menghalalkan segala cara”
“Tapi pemahaman sebagian orang tidak mungkin muncul tanpa dasar, Mon”
“Itulah, itulah kenapa kamu harus baca buku ini. Itulah kenapa kamu harus sering baca buku”
Sorenya cerah. Sekumpulan mahasiswa sedang menekuni tugasnya tidak jauh dari tempat kami duduk. Sisa sore ini kami habiskan dengan membaca, sambil sesekali bercakap-cakap, Mona dengan buku dari Soe tadi, aku baca buku lain yang juga baru dia beli, Senam Kegel di Rumah.
“Ini buku apa, Mon?”
Aku perhatikan Mona merona.