I’m not that into coffee, but I drink it anyway.
Dibandingkan beberapa tahun lalu intensitas ngopi saya sekarang mulai meningkat, saya mulai rutin ngopi setidaknya satu kali dalam satu hari. Sebelumnya alasan saya jarang ngopi adalah sifat kopi yang asam, lambung saya tidak kuat kalau dipaksa mengkonsumsi banyak-banyak makanan/minuman yang asam. Kabarnya memang begitu sifat orang dengan golongan darah O seperti saya, masalahnya di asam lambung dan alergi. Dari dulu kopi yang saya minum harus ada campurannya selain gula, boleh susu boleh juga krim. Yang pasti saya tidak minum kopi hitam (kopi saja, atau kopi dan gula). Pun sampai sekarang saya masih enggan minum kopi hitam, tapi tidak se-anti dulu, di beberapa kesempatan saya masih bisa menikmati espresso.
Espresso itu enaknya dinikmati kalau sedang bepergian atau dalam kondisi tidak punya banyak waktu tapi kita butuh asupan kafein. Saya ingat tahun 2013 lalu ketika salah seorang barista di Excelso Ngurah Rai meyakinkan saya untuk mencoba espresso buatannya, saya bilang kalau saya tidak suka kopi hitam apalagi yang tanpa gula, meski begitu saya kalah nego entah sengaja mengalah karena rasa penasaran. Dan memang rasanya enak, beda dengan kopi saset yang biasa saya beli di warung. Kejadian itu juga yang membuat saya penasaran dengan produk horekanya Excelso yang ternyata banyak ragamnya.
Pilihan saya jatuh kepada varian paling murah, Robusta Gold. Sebetulnya bukan melulu karena harganya yang kebetulan murah, tapi tingkat keasamannya yang rendah yang membuat saya berani mencoba membeli varian ini. Bagi yang pernah membeli produk Excelso, pasti pernah membaca tabel di bagian pinggir kemasan mereka yang menunjukan perbandingan keasaman dan ketebalan (body) dari varian-varian mereka, Robusta Gold ini kebetulan paling rendah tingkat keasamannya (1 poin) walaupun tingkat ketebalannya tidak terlalu tinggi (2,5 poin).
Karakter robusta yang tidak terlalu wangi mengurangi penilaian akan varian ini bagi mereka pecinta kopi, bagi saya pribadi yang penting saya bisa konsumsi kopi tanpa lambung terganggu. Pernah mencoba varian Arabica Gold, dengan tingkat keasaman dan ketebalan seimbang (3 poin), jauh lebih wangi dan manis, tapi bulan berikutnya saya kembali ke Robusta Gold. Ada satu varian yang sampai saat ini saya masih penasaran untuk mencobanya, Brazillian Santos. Dengan tingkat keasaman rendah (2 poin) dan ketebalan lumayan tinggi (3,5 poin) saya rasa akan mirip dengan Robusta Gold yang biasa saya konsumsi. Harganya lumayan mahal memang, tapi yang pasti sampai sekarang saya belum menemukan barangnya ada di etalase Yogya atau Junction tempat istri biasa belanja bulanan.
Tapi suatu hal mengenai kopi-kopian ini, sampai saat ini saya belum bisa menikmati kopi dingin. Sejauh ini, ngopi itu ya harus panas.
Kurang lebih satu bulan ke belakang, Papa mertua baru saja pulang dari Papua dan membawa kopi yang katanya khas Papua: Baliem Blue Coffee. Arabika yang digiling medium, wangi, dan enak. Rasanya mirip-mirip dengan Java Coffee (saya lupa merknya, akan diupdate kemudian). Saya juga suka Mokka Arabika-nya Koffie Fabriek Aroma, kalau ini karena mesin espresso di kantor selalu diisi kopi merk dan varian ini. Jadinya terbiasa. Seperti halnya kebiasaan ngopi itu sendiri.