Sarapan di Bandung: Soto Sedaap Boyolali Hj. Widodo

Salah satu alasan kenapa saya kerap menulis tentang tempat untuk mencari sarapan di Bandung karena Bandung itu paling enak dinikmati pada pagi hari. Cuacanya masih sejuk, mataharinya belum terlalu terik, jalanan juga tidak terlalu padat. Meski begitu, biasanya tempat-tempat sarapan yang saya kunjungi penuh di pagi hari. Salah satunya adalah warung soto yang terletak di persimpangan Trunojoyo ini, Soto Sedaap Boyolali Hj. Widodo.

Akhir tahun lalu Soto Sedaap Boyolali ini mengalami perluasan area, setelah sebelumnya hanya menempati area kecil di sudut persimpangan Trunojoyo. Hal tersebut karena semakin banyak pengunjung yang datang ke kedai soto asal Jawa Tengah ini.
Berbeda dengan soto Madura yang pernah saya bahas sebelumnya, soto Boyolali tidak menggunakan kunyit dalam proses memasaknya. Jadi sotonya bening, seperti soto Bandung. Selain itu, di soto Boyolali tidak hanya menawarkan soto ayam, mereka juga menjual soto daging sapi. Semakin mirip dengan soto Bandung. Hanya saja, tidak ada lobak dan kacang di sini, tapi ada bihun. Bedanya, daging sapi di sini diiris seperti irisan soto ayam, sementara untuk daging sapi dalam soto Bandung dipotong dadu.
Ada dua hal yang membuat saya selalu suka makan pagi di sini, pertama adalah karena porsi sotonya yang sedikit. Sotonya disajikan dalam satu mangkuk kecil, dengan beberapa potongan kecil daging ayam atau daging sapi yang tidak banyak. Di dalamnya ada bihun, atau tauge, tergantung pesanan kita. Ada juga kentang yang diiris tipis lalu digoreng. Kita juga bisa memilih apakah sotonya dipisah dengan nasinya, atau disatukan. Saya tim dipisah, istri saya sebaliknya.


Alasan kedua adalah makanan sampingan yang disajikan di atas meja. Banyak sekali. Mulai dari gorengan (tahu, bala-bala (bakwan), tempe), perkedel (kentang, jagung), sampai sate-satean (telur puyuh, ati ampela, otak, paru). Justru inilah yang saya suka, meskipun porsi sotonya sangat sedikit, tapi makanan-makanan pendamping ini cukup membuat saya kenyang. Apalagi karena disajikan di atas meja langsung, tanpa terasa kita mengambil satu per satu makanan tersebut. Persis seperti konsep yang dianut beberapa masakan Padang.

Ada cerita dari salah satu rekan kerja saya yang kapok untuk makan di sini karena menurutnya daging dalam sotonya terlalu sedikit. Saking sedikitnya porsi soto di sini. Inilah kenapa penilaian terhadap sesuatu akan selalu subyektif, menurut saya porsi sedikit adalah keunggulan, tapi menurut dia adalah sebuah kekurangan. Menurut saya sih, kalau mau makan porsi lebih, baiknya memesan dua atau tiga porsi sekaligus.
Soto ayamnya menggunakan daging ayam kampung. Kuah yang disajikan bening, tidak terlalu gurih namun juga tidak hambar. Saat ini jumlah karyawan di kedai soto ini banyak, jadi penyajian pesanan tidak lagi memakan waktu terlalu lama. Padahal pengunjungnya semakin banyak.

Siapkan sekitar Rp. 25.000,- per orang untuk makan di sini, dengan uang sejumlah itu kita bisa makan soto, nasi, beberapa jenis makanan pendamping, dan air minum seperti teh manis atau air jeruk panas atau dingin. Teh tawar disajikan dengan cuma-cuma.