Minggu pagi ini saya habiskan menonton siaran Televisi, kita seringkali menyebutnya TV saja. Ramona entah kenapa rajin sekali masak pasta, tiga hari terakhir ini saya sarapan pasta. Pastanya enak, memang, meskipun hanya pasta instan hasil belanja awal bulan kemarin. Mungkin karena Mona yang masak, maksudnya karena orang lain yang masak. Mona juga suka berarti, atau hanya karena dia tahu saya suka? Yang terakhir, bagian dari kepercayadirian saya. Jadi laki-laki itu harus percaya diri, kalau tidak, bagaimana orang lain mau percaya sama kita? Ya, ada benarnya. Minumnya Nutrisari hangat, biar semuanya jadi hangat, ujar Mona. Pasta, Nutrisari dan TV bikin hangat. Hangat, akhir-akhir ini, berubah jadi sesuatu yang berharga. Mona, baru saja pindah tempat kost. Sebetulnya kali ini lebih boleh dibilang rumah. Rumahnya ini sekarang terletak di bagian atas kota Bandung, bukan tepat di atas kota Bandung maksudnya, tapi di tempat yang lebih tinggi daripada rata-rata kota Bandung. Dan di tempat semacam ini, udaranya dingin luar biasa. Itu, itulah kenapa saya bilang bahwa kehangatan sekarang berubah menjadi sesuatu yang berharga. Seperti halnya rumah ini, rumah yang pagi ini kami pakai untuk menikmati Minggu pagi sama-sama. Berharga. Rumahnya tidak besar, ada dua kamar tidur, satu kamar mandi, ruang tamu, lalu ada dapur….

View the article

“Apa kabar kemanusiaan? Apa kabar nurani?” Ramona bergumam, aku bingung harus jawab apa. Aku nyalakan rokok, buka kaleng bir. “Kenapa akhir-akhir ini mereka selalu mengkaitkan kematian dengan isu-isu populer? Orang mati dibilang pengalihan isu, orang mati dibilang teror, orang mati dibilang politik..” Mona terlalu jauh, aku potong pertanyaannya, “Sudahlah,” belum sempat aku meneruskan kalimatku dia balik memotong. “Maksudku kenapa orang-orang begitu berani mengkaitkan isu favoritnya dengan sesuatu yang begitu memilukan seperti kematian? Orang mati, jari diangkat ditunjuk sana-sini, tangan dikepal ke udara penuh emosi” dia membuka kalengnya. “Maksudmu apa, Mon?” “Kita harus menemukan nurani, ini soal kemanusiaan!” ujarnya setengah berteriak. “Itu hak mereka, Mon. Seperti halnya juga kamu dibiarkan bertanya seperti tadi, itu hakmu” Aku lihat Mona menenggak dari kalengnya, menghisap rokoknya dalam-dalam menghembuskan asapnya, menghisapnya lagi dalam-dalam, menghembuskannya lagi. Tetiba Mona menangis. Dengan terseguk suara paraunya masih mengeluarkan kata-kata, “Tapi mereka didengar banyak orang, aku tidak” aku peluk Mona, kuusap punggungnya sesekali, air matanya semakin deras, “Aku merindukan nurani, Andri. Sebagaimana mereka mengingikan kekuasaan dan uang”

View the article

Ramona dan Pepohonan

Hari ini seperti melihat ke belakang, pepohonan maha banyak berderet membangun komposisi yang luar biasa indah. Di dalamnya, hanya yang kuat dapat bertahan hidup dan menikmatinya. Aku baru saja keluar dari sana, dan nyata, yang indah itu bukan untuk aku nikmati. Beberapa dari kita punya kemampuan untuk itu, sayangnya aku tidak termasuk. Sebagian besar dari pepohonan itu terlalu ponggah, menengadah ke atas, tidak perduli dengan apa yang melintas di bawahnya. Kokoh, tapi angkuh. Indah, tapi sulit dimengerti. Abstrak, orang bilang begitu. Bukan sesuatu yang dapat aku selami, bukan sesuatu yang mudah aku mengerti. Dulu katanya, aku harus menyatu, menjadi bagian dari semua itu. Siapa yang sanggup menolak menjadi bagian dari keindahan? Tapi juga siapa tahan diabaikan? Pernah suatu kali dahan salah satu pohon itu patah meluncur ke bawah, menimpaku tepat di pundak. Lenganku tak fungsi, belasan hari. Mengurangi pengabdian, logika enggan berfungsi seperti sebelumnya. Diabaikan.  Tidak lama dari itu, putusan diambil. Harus segera pergi, jauh dari deretan pepohonan, jauh dari keindahan. Ingin, siapa yang ciptakan? Aku yang cipta, aku yang mengangkatnya jadi harapan. Pepohonan itu mimpi, mimpi hanya ada dalam tidurku. Dan aku, aku terlahir dengan mata terbuka seperti yang kerap Ibu bisikan di pagi hari saat aku sulit mengangkat tubuh dari…

View the article

Jum’at sore tengah Februari, aku dan Ramona sengaja membekali diri dengan perlengkapan piknik sedari pagi. Tikar dari bahan flanel yang biasanya jadi alas tidur kalau Bandung sedang dingin, kali ini akan digunakan untuk alas duduk. Mungkin rumput, mungkin hanya tanah merah. Untung warnanya sedikit gelap. Tidak mudah membuatnya terlihat kotor, tidak sulit untuk dicuci. Rencananya sore ini kami akan piknik di taman depan sebuah sekolah besar sekitar Jl. Ganesha, taman Ganesha. Selepas pergantian shift di tempat kerjanya Ramona lekas aku jemput, mampir sebentar di mini market tidak jauh dari taman. Beli makanan, beli minuman, cukup untuk mengganjal perut sampai makan malam nanti dan teman bincang-bincang sore. Sekarang semuanya siap. Hampir lupa, sore ini kami ditemani sebuah pemutar rekaman tua milik almarhum kakek. Usang, tapi masih bisa dipakai. Kami putar Liedjes Van Verlangen dari Wieteke Van Dort sore itu. Kasetnya aku beli di Cilaki beberapa tahun lalu saat perbaiki pemutarnya. Dan jadilah sore ini kami buat seperti sedang berada di salah satu taman di Belanda sana. Seperti yang sudah dibayangkan sebelumnya, sore ini luar biasa. “Kita harus sering melakukan hal seperti ini” ujarku seraya membuka bungkus roti dan mulai menyantapnya. “Kita masih harus mencoba banyak hal” “Tapi ini menyenangkan” “Bahkan hal-hal menyenangkan sekalipun kalau terlalu sering…

View the article

Kau kenal apa yang aku sukai? Kau kenal banyak rupanya. Kau mengerti ketika sedang berhadapan dengan banyak hal yang aku sebut masalah, aku hanya butuh kesabaranmu menunggu sampai semua itu dapat dilewati. Senyuman, juga keberadaanmu, tentu saja akan menambah banyak dorongan kepada prosesnya itu sendiri. Selalu seperti itu, satu gelas teh panas dan satu botol air mineral menemani santap sore kita. Kali ini, kau beranikan diri menahan bungkus rokokku di dalam tas. O, jadi itu rupanya, alasan kenapa kau mau bawakan bungkus rokok serta pematik dan menyimpannya di tasmu. Nanti, tunggu selesai makan saja. Baiklah. Aku mulai bercerita, dan kau mulai memasang raut wajah dengar andalanmu. Raut yang akan membuat aku ingin segera menyelesaikan topik apapun yang sedang kita bicarakan dan beralih mulai memuji kecantikanmu. Cerita berlanjut. Makanan datang. Cerita berhenti. Kita berdua menikmati satu mangkuk besar hidangan Thailand yang entah apa namanya. Sepuluh tahun yang akan datang, dengan siapapun kau menikah, kau akan bercerita tentang sore ini kepada anak-anakmu. Tentu saja, ini tidak mudah untuk dilupakan. Dan hela nafas itu, hela nafas yang kita sepakati bahwa siapapun dari kita yang pernah jatuh cinta pernah merasakannya, membuat waktu berjalan terlalu pelan. Kita, menikmatinya. Teruskan ceritamu. Cerita apa? Itu tadi kesulitanmu….

View the article

Jadi akhir pekan kemarin Ramona mengutarakan sesuatu yang sulit untuk tidak saya bahas kemudian. Sialnya, bahasan itu mengarah kepada pembuktian nyata dari percakapan yang tadinya argumentatif menjadi sesuatu yang sifatnya berdasarkan pengalaman, seperti dia bilang. Bahasannya sederhana, sesuatu yang mungkin ada di sekitar kita, bahkan mungkin sangat dekat. Tapi karena memang sifatnya yang sering bermusuhan dengan norma lagi budaya, kehadirannya sering tak terasa, invisible. Sabtu sore itu kami bicara tentang seks berbayar. Seks adalah bahasan yang menarik, kedua dari kami menganggap topik yang tabu untuk kebanyakan orang ini adalah suatu topik yang terlantar, yang dibahas hanya oleh mereka yang punya keberanian, oleh mereka yang siap menghadapi konsekuensinya. Karena ketika kita mengakrabi sesuatu yang dikucilkan, maka kemungkinan untuk ikut dikucilkan juga besar. Kitalah tahu, manusia memang senang sekali menghaikmi. Seolah setiap orang yang ada di depan mata itu transparan, sehingga bisa dilihat apa yang dia punya di dalam sana. Mungkin, ini mungkin saja, asal mula pakaian diciptakan juga untuk menutupi kekhawatiran ini. Orang mengenakan pakaian bisa dibilang sebagai orang yang punya malu, sesuatu yang menahan mereka dari hal-hal yang tidak disukai orang di sekitarnya. Padahal, tidak selalu begitu. Itu hanya mungkin, siapa yang tahu sejarah lagi pula? Sejarah ditulis oleh mereka yang…

View the article

“Setiap individu bertanggung jawab kepada dirinya sendiri serta kepada komitmen yang dibuatnya dengan lingkungan sosial di mana dia berada. Kepada Tuhan dan hal-hal yang tak terdefinisikan dengan mudah, biarlah dibahas orang lain yang lebih pintar” aku dengar dia bergumam, tangannya asik mencoreti buku catatan kecil. Sore itu kami duduk-duduk di beranda kamar kos, di kursi rotan. Ramona bikinkan kami satu teko teh panas manis untuk teman kue wafer kiloan yang baru aku beli tadi sebelum datang ke mari. Di depan kami suara aliran sungai bersaing konstan dengan suara lalu-lintas di seberangnya. Petir berkilatan di sela-sela gedung tinggi dengan latar belakang langit kota yang mendung. “Ini sama sekali jauh dari romantis” ujarku. Tetiba Mona menolehkan kepalanya, “Andri, coba apa tanggung jawabmu?” dia melirik, tangannya menunjuk dengan pensil. Serius sekali Ramona sore ini. “Kepada diri sendiri, adalah untuk memberinya kebahagiaan, kesehatan dan kesejahteraan serta tidak membawa ke arah kehancuran baik fisik maupun psikis” “Lalu kepada lingkungan sosialmu?” “Untuk menjalankan tanggung jawab terhadap diri sendiri tadi, aku berusaha untuk tidak melakukan hal yang bertentangan dengan mereka” angin berbalik arah, sekarang menerpa muka kami, bebauan yang khas. Dia mengangguk-ngangguk. “Kita ini orang kecil, makan wafer juga kiloan, curah. Teh kita teh lokal bahkan kemasannya…

View the article

Terlalu London

Kurang lebih ini pukul empat pagi, di kota asalku kebanyakan orang baru akan mulai membuka hari. Terbangun dari tidurnya, bersiap melangkahkan kaki mencari istilahnya sesuap nasi. Padahal tidak semuanya hanya dapat sesuap. Tidak semuanya juga bangun sepagi ini, aku hanya anggap ini akan bagus sebagai pembuka sebuah cerita. Walaupun ternyata seadanya. Tapi ini London, di sini beda, banyak orang baru memejamkan mata pukul empat pagi, apalagi ini akhir pekan. Kapan mereka tidur? James, kenalanku dari Yorkshire yang sekolah di London sini pernah bilang, “Hidup terlalu pendek untuk dihabiskan dengan tertidur”. James tinggal di London terlalu lama atau dia terlalu sering menonton 007, entahlah. Ya, London ini serba terlalu. Aku terlalu tua datang ke sini, dan terlalu sebentar. London terlalu sempurna untuk imajinasiku. Terlalu jauh. Terlalu banyak yang aku sukai datangnya dari sini. Terlalu setia aku mencintai kota yang tidak pernah dapat aku rasakan cintanya. Ini terlalu jauh, mari kita kembali ke seberang perempatan Coburg di mana orang-orang muda baru saja keluar dari Bree Louise. Mereka tampak bahagia. Meskipun beberapa tergeletak tak sadar dia di mana, dan lihatlah ke arah Euston sana, dua gadis muda itu sedang buang air kecil sambil berdiri di trotoar. Oh, mereka tertawa. Tertawa tanda bahagia, bukan?…

View the article

Ramona

Ramona menekuk tubuhnya, tangannya mencengkram erat bahuku, nafasnya tertahan, matanya terpejam dengan mulut menganga. Seketika ia lemparkan kepalanya ke belakang, tubuhnya sekarang tercentang sempurna. Lengkuhan panjang menyertai lepasnya cengkraman jemari di pundakku, Ramona kini terlentang, tubuh kami licin karena peluh. Padahal ruangan itu berpengatur suhu. Detik-detik yang kami tunggu sejak kurang lebih satu jam yang lalu selesai, terlewati dan kami memuji Tuhan atas pemberianNya. “Ini, kita meraihnya, memilih satu dari jutaan atau bahkan lebih yang disediakanNya” kepala kami berjauhan, pinggul kami masih saling melekat, hanya karena aku tahan dengan kedua tangan. Di stereo, Joey Ramone mengawali Carbona Not Glue, Wondering what I’m doing tonight I’ve been in the closet and feel all right.. Peluh cepat mengering, kami memilih menyalakan rokok dan meminum sisa air di gelas masing-masing. Ramona duduk di ujung tempat tidur di depanku, sedikit membungkuk dengan tatapan kosong. aku sibuk mencoba membaca rajah serupa kalimat dengan tulisan sambung gaya lama di sisi kanan punggungnya. Hidup untuk diri sendiri dan apa yang diyakini. “Kita bisa saja setiap hari seperti ini, kapanpun kamu atau aku mau, kita bercinta. Dari matamu, itu yang kamu inginkan bukan?” Ramona memecah hening. Aku diam tak bersuara, asik memainkan bentuk asap rokok. “Tapi itu akan…

View the article

Setelah sekian waktu akhirnya selalu datang saatnya berbagi dengan diri sendiri, aku namakan ini monolog kesadaran. Aku suka melihatmu di Minggu pagi, hanya dengan pakaianku dan pakaian dalam putihmu. Kemeja lengan panjang yang longgar itu tidak kunjung sanggup menutupi kecantikan tubuhmu, bahkan ketika itu adalah kesekian kalinya kamu mencoba. Ternyata memang dibuat seperti itu. Aku juga suka Sabtu sore, ketika sibuk dengan pengolah kata sesekali mengintipmu menyiram tanaman di pekarangan melalui jendela. Merebut perhatian, dan senyuman itu sungguh membunuh akal sehat. Ternyata memang dibuat seperti itu. Di Jum’at siang tidak pernah ingin aku lewatkan melihatmu berjalan melintasi parkiran, tersenyum dari kejauhan. Kita seakan saling mencuci lelah. Bosan tentu salah arah, jauh dari menemukan kita. Ternyata memang dibuat seperti itu. Dan aku masih ingat Kamis pagi, ketika menemukan rajah mungil di balik blus putihmu. Kamu memaksaku menghentikan waktu. Ternyata memang dibuat seperti itu. Rabu, tengah hari, kita berhasil menjauhkan sekitar. Kata-kata yang kita buat binar. Menyusun diri di udara, membangun jembatan yang bahkan lebih pekat dari asap-asap yang kita hembuskan. Ternyata memang dibuat seperti itu. Selasa pagi itu, tanpa sengaja kita saling berhadapan, membangun alibi bukan untuk diri sendiri. Menjaga agar selalu berada dalam kotak masing-masing, tapi seolah bebal selalu berusaha…

View the article
@